TK Al Kautsar, Curug Gunungsindur, Bogor









01 April 2010

Al Qur an (Sejarah Terbentuknya menjadi sebuah Kitab)


Sebenarnya sebelum diturunkan ke muka bumi, Al-Quran adalah kitab yang sudah jadi dan eksis sebelumnya. Para ulama menjelaskan bahwa paling tidak Al-Quran mengalami dua kali masa turun. Pertama, turun dari Lauh al-Mahfudz ke langit dunia. Ini terjadi pada Lailatul Qadar, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al-Qadar: 1-5. Dalam proses turun yang pertama ini, Al-Quran turun sekaligus, tidak sepotong-sepotong. Kedua, turun dari langit dunia kepada Rasulullah SAW dengan berangsur-angsur. Selama masa 23 tahun lebih beliau SAW secara rutin menerima turunnya ayat Al-Quran.

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur an) pada malam kemuliaan.Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS Al-Qadar: 1-5)
 

Berbeda dengan proses pertama yang turun sekaligus, pada kali yang kedua ini, Al-Quran diturunkan secara acak dan sepotong-sepotong. Tidak urut dari Al-Fatihah, Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa' dan seterusnya hingga An-Naas, tetapi diturunkan berdasarkan kebutuhan. Hanya yang perlu dicatat, pada setiap potongan ayat turun, Rasulullah SAW selalu memberikan penjelasan bahwa posisi ayat itu di dalam Al-Quran adalah para surat tertentu, bahkan sampai keterangan urutannya pada sebelum ayat apa dan sesudah ayat apa.
Ayat-ayat yang turun ke bumi disusun sesuai dengan Al-Quran yang asli di Lauhil Mahfuz dan di langit pertama. Jibril menurunkannya satu per satu sesuai dengan perintah Allah, namun sambil membawa juga kode-kode alamat tiap ayat itu. Sehingga ketika dikumpulkan, otomatis dengan mudah bisa tersusun lagi seperti versi yang masih ada di langit.

Ada banyak hikmah mengapa Al-Quran tidak diturunkan sekaligus, di antaranya:
  1. Agar mudah dihafal
  2. Agar mudah dipelajari dengan mendalam
  3. Agar punya kesan tersendiri karena merupakan refleksi atas setiap kejadian di masa itu
  4. Sebagai jawaban hukum atas permasalahan yang timbul
Rasulullah SAW memiliki beberapa sekretaris, yang kerjanya menulis ayat Al-Quran yang turun. Mereka adalah para penulis wahyu dari kalangan sahabat terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, Ubai bin K'ab dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhum. Bila suatu ayat turun, beliau memerintahkan mereka untuk menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah.

Di samping itu sebagian sahabat pun menuliskan Qur'an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah oleh nabi. Mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Zaid bin Tabit berkata, "Kami menyusun Qur'an di hadapan Rasulullah pada kulit binatang."

Para sahabat senantiasa menyodorkan Qur'an kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan.
Tulisan-tulisan Qur'an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Muaz bin Jabal, Ubai bin Ka'ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Mas'ud telah menghafalkan seluruh isi Qur'an di masa Rasulullah. Dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang terakhir kali membacakan Qur'an di hadapan Nabi, di antara mereka yang disebutkan di atas.

Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah di saat Qur'an telah dihafal seluruhnya oleh para sahabat. Tetapi Qur'an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyeluruh (lengkap). Bila wahyu turun, para sahabat menghapalnya dan sebagian menulisnya, tetapi pada saat itu belum diperlukan membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Di samping itu terkadang pula terdapat ayat yang me-nasikh (menghapuskan) sesuatu yang turun sebelumnya. Susunan atau tertib penulisan Qur'an itu tidak menurut tertib nuzul-nya (turun), tetapi setiap ayat yang turun dituliskan di tempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi- ia menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu. Andaikata pada masa Nabi SAW, Qur'an itu seluruhnya dikumpulkan dalam satu mushaf/buku, hal yang demikian tentu akan membawa perubahan bila wahyu turun lagi.

Al-Katabi berkata, "Rasulullah tidak mengumpulkan Qur'an dalam satu mushaf itu karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasululah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya. Dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar radhiyalahu 'anhum.
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.

Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih:
Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."

Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).


http://www.alkautsar.co.id/naskah.php?id_w=22

0 komentar:

Posting Komentar